Konon, sering terlihat air keluar dari sela-sela batu itu. Sesosok batu meyerupai tubuh mungil perempuan dengan konde (sanggul) di kepalanya. Dia lah yang sering disebut Putri Pukes sang legenda terbentuknya Danau Laut Tawar disebuah kota bernama Takengon.
Disinilah sekarang saya berada di tempat sesosok batu perempuan cerita rakyat daerah Takengon. Masih dalam kondisi takjub saya mendengar cerita bapak penjaga gua Putri Pukes. “Putri ini mungkin masih sering sedih,mengingat kehidupannya dahulu. Meninggalkan orangtuanya yang tidak setuju dengan lelaki pilihan putri yang sangat mereka kasihi dan putrinya tersebut memilih untuk pergi dari kerajaan bersama lelaki yang ia pilih”. Bapak penjaga melanjutkan cerita rakyat ini, “Putri ini lupa akan janjinya. Ketika ia memutuskan untuk pergi dari kerajaan, sang ibu berkata bahwa ia tidak boleh menoleh ke belakang melihat kerajaan dan kedua orang tuanya berada. Namun kesedihan yang terus menerus membuat sang putri tidak dapat menahan untuk menolehkan kepalanya. Seketika itulah hujan sangat besar, petir, gemuruh dan angin topan bersahut sahutan keluar dari langit. Putri pun berteduh di dalam sebuah gua, tak disadar bahwa ia telah menjadi batu. Hujan besar yang tak henti-henti membentuk sebuah danau yang sangat besar ”.
Cerita rakyat yang melegenda selalu saya temui dalam perjalanan-perjalanan saya. Itu menjadi kekayaan budaya yang lekat dengan masyarakat daerah setempat. Disinilah saya berada sekarang, berkilo-kilometer perjalanan dari Pulau jawa menuju kota Medan, Sumatera Utara tempat transit saya untuk menuju Kota Takengon, Aceh Tengah. Sebuah daerah yang menyelempit diantara Kabupaten Aceh lainnya di tengah hiruk pikuknya Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terkenal setelah tersiram air bah Tsunami beberapa waktu lalu. Perjalanan panjang yang saya tempuh selama hampir 11 jam untuk mencapai kota di sebuah dataran tinggi Gayo ini. Nama Takengon mungkin menjadi asing di telinga para wisatawan tanah Jawa ataupun bumi Indonesia Timur. Sebuah Kota yang dikelilingi pegunungan, dengan udara sejuk, tanaman kopi berlimpah,perkebunan dan mayoritas hampir dihuni oleh mayarakat suku Gayo.
Masih terngiang sebuah lagu yang sering aku dendangkan di sekolah ketika dulu menikmati masa kecil di Lhokseumawe, kota kecil di Aceh Utara, “Daerah Istimewa Aceh, Propinsi paling barat Indonesia. Istimewa bidang agama, pedidikan,….. “ . Aceh sebuah Propinsi di barat Indonesia. Paling ujung Indonesia. Disinilah saya dibesarkan, dan masih teringat betul ketika dulu disaat liburan saya diajak orangtua pergi ke Takengon. Saat itu kota Takengon tidak jauh dari Lhokseumawe hanya menempuh jarak sekitar 3-4jam sampailah saya di kota yang sejuk ini. Dan dulu saya berjanji akan kembali lagi kelak ketika saya sudah dewasa. Ternyata waktu membawa saya menjauhi Aceh, saya menetap di Pulau jawa, berkilo-kilometer jauhnya dari Aceh. Kenangan manis dikala kecil itulah yang membawa saya kembali ke Aceh untuk menuju Takengon. Perjalanan panjang melelahkan yang tertebus oleh nikmatnya pemandangan Danau Laut Tawar, Takengon.
“Pak kenapa namanya Danau Laut Tawar?” tanyaku kepada salah seorang pengunjung kedai kopi ketika saya beristirahat diwarung minuman tersebut. “soalnya danau ini luas tampak seperti lautan dan airnya tidak asin,makanya oleh penduduk sini disebut danau laut tawar” saya pun menganggukkan kepala mengucapkan terimakasih atas penjelasan Bapak tersebut. Ini lah medan magnet terbesar ciptaan Tuhan semesta alam di bumi Aceh. Alasan inilah yang membuat saya ingin kembali kesini. Udara dataran tinggi yang sejuk, danau cantik yang dikelilingi pegunungan, air yang jernih dan latar belakang pepohonan pinus. Sungguh, Tuhan Maha Pemurah memberikan pemandangan ajaib seperti ini. Danau yang tampak seperti lembah didataran tinggi Gayo seperti Negeri diatas awan. Danau indah ini menurut informasi penduduk lokal mempunyai luas kira-kira 5.472 ha. Memang tidak banyak yang mengetahui bahwa di-kota-nya masyarakat Aceh Gayo di Kota Takengon ,Aceh Tengah mempunyai danau. Yang sering terdengar bahwa kopi gayo adalah kopi yang sangat enak yang tidak ada tandingannya. Ya, sangat miris memang, dulu ketika tahun ’90 an saat pariwisata Takengon lagi berdenyut aktif dihentikan oleh kerusuhan-kerusuhan Aceh yang membuat wisatawan lokal enggan untuk menengok cantiknya danau. Jalan yang berliku-liku, di pinggiran tebing, melewati hutan membuat takut wisatawan akan kerusuhan yang ditimbulkan gerakan separatis perusuh Aceh. Karena hutan dan pedalaman identik dengan tempat sembunyi mereka. Kasihan danau cantik ku, bersedih ditinggalkan banyak orang. Padahal ia tidak ikut bersalah dan menanggung semuanya. Begitu juga kebun-kebun kopi, tembakau, damar, perkebunan sayuran dan buah-buahan menurun aktivitasnya akibat lumpuhnya sarana transportasi. Sekarang saatnya Takengon kembali bangkit dari tidurnya. Mulai digalakkan kembali pariwisata takengon.
Mungkin, danau ini terbentuk dari cekungan kubah purba ciptaan gunung-gunung aktif yang terhampar disekelilingnya. Karena Takengon berada di salah satu bagian punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatera. Tapi apapun itu cerita rakyat Putri Pukes tetap menjadi legenda penduduk sekitar Danau Laut Tawar secara turun menurun diceritakan dari satu generasi ke generasi lainnya. Objek wisata disini tidak hanya batu menyerupai sesosok seorang putri saja, tapi juga ada gua kerbau Loyang Karo, dan legenda ular hijau. Sedikit cerita tentang si putri hijau alias legenda ular hijau, yang saya dapat dari penduduk setempat adalah pernikahan antara putri dan pangeran yang tidak mengetahui bahwa mereka sebenarnya adalah saudara sedarah. Putri yang sedih karena baru mengetahui kenyataan itu pergi melarikan diri ke pinggir danau dan menguburkan dirinya disana. Kemudian tiba-tiba saja ia menjadi ular hijau yang sangat besar seperti naga dan disebut putri hijau. Apapun cerita rakyat di Danau Laut Tawar ini menjadi kisah menarik tersendiri yang berhasil membuat wisatawan penasaran.
Selain cekungan raksasa danau, keadaan alam yang tercipta sejak berjuta-juta tahun lalu dari jejeran pegunungan yang mengelilingi danau menciptakan banyak terbentuk gua-gua, tapi tentu saja tidak banyak yang bisa kita masuki karena sebagian sudah tertutup reruntuhan. Konon, Takengon kota yang sangat mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakatnya sudah terbukti sangat setia dan anti penjajahan. Sejak jaman penjajahan dahulu mereka selalu bergerilya mengusir penjajah yang ingin menginjak-injak tanah kelahiran mereka. Nah, disinilah fungsi gua itu berperan. Gua itu merupakan tempat bersembunyi dan menyusun strategi perlawanan mereka. Bahkan, katanya ada yang sampai menembus berkilo-kilometer jauhnya kita bisa sampai menembus daerah lain yang jauh dari kota Takengon dengan menyusuri gua.
Tak terasa hari sudah beranjak sore, saya sangat menunggu kedatangan peristiwa alam ini. Apalagi kalau bukan terbenamnya matahari di sudut Danau Laut Tawar. Sebelumnya, ada baiknya saya menuju penginapan. Karena ingin mengenang masa lalu bersama almarhum Ayah saya yang pernah mengajak saya ke Danau Laut Tawar, saya kembali menempati penginapan Renggali. Penginapan tua yang berdiri tepat di pinggir danau, tentu saja akan menjadi pemandangan yang sangat indah. Dahulu ketika tahun 1990-an masi sedikit penginapan yang berdiri dikota ini, dan Renggali menjadi salah satu primadona. Bergulirnya waktu membuat penginapan ini terkalahkan oleh yang lain. Tapi tidak apa-apa saya hanya ingin mengenang keberadaan saya bersama Ayah ketika dulu. Sedih memang melihat kusamnya perabotan dan karpet yang menghiasi kamar. Tapi penginapan ini menjadi yang best dengan pemandangan danau yang indah menurut saya.
Dan disinilah saya, di teras penginapan yang menghadap danau, lengkap dengan peralatan memotret saya. Saya sedang menunggu turunnya matahari, memotret pemandangan senja Danau Laut Tawar. Semilir angin baru saja menyibak pepohonan disekitar saya, menambah dinginnya udara yang semakin larut. Secangkir kopi gayo yang sangat nikmat menjadi teman saya menikmati pemandangan ini. Sedikit mengusir dinginnya udara kota ini. Sangat dingin sekali.
Takengon dan Danau Laut Tawar, wajah mu kini sangat modern. Banyaknya kendaraan bermotor dan coffee shop menghiasi kota. Belom lagi penginapan baru yang banyak bermunculan. Yang tidak berubah adalah pengisi ekosistem Danau Laut Tawar, ya benar sekali ikan Depik. Mereka sangat setia terhadap Kota ini. Tetap setia selalu menemani isi danau yang cantik.
Ikan Depik, itulah namanya. Ikan yang hanya bisa hidup di danau ini, tidak akan dapat kita temui di daerah lain. Sekilas hampir sama bentuknya seperti ikan wader. Ikan khas yang menjadi makanan favorit warung di tanah jawa. Tapi, sungguh mereka berbeda. Ikan Depik mempunyai tingkah laku yang sangat unik. Mereka hanya muncul bergerombolan disaat angin sedang kencang, karena itu disaat musim begini sering disebut sebagai musim angin ikan depik. Jika musimnya belom tiba mereka bersembunyi. Sama seperti legenda yang hidup di danau ini. Ikan depik pun mempunyai legenda sendiri. Konon, depik berasal dari butiran nasi yang dibuang ke danau.
Puas menyusuri kota Takengon, keesokan harinya saya menuju ke puncak bukit yang disebut Panta Terong. Tidak jauh dari pusat kota Takengon, berada di ketinggian disini kita bisa melihat pemandangan kota dari atas. Menurut informasi tingginya sekitar 1.350 m diatas permukaan laut. Selain bisa melihat keindahan kota dari ketinggian, disini juga terdapat gazebo, tempat duduk yang dapat kita gunakan untuk istirahat sambil menikmati pemandangan. “Disini pernah diadakan atraksi kesenian,sesekali. Sangat ramai” ujar seorang pengunjung yang lagi menikmati Panta Terong. Ternyata tidak hanya tarian saja tapi juga didong atau berbalas pantun. Wah..sayang saya tidak mendapat keberuntungan menikmati ragam budaya Indonesia disini. Menurut informasi juga, sangat disayangkan waktu saya tidak tepat berada di kota ini. Karena tidak bisa menyaksikan seni pacuan kuda. Ahh…menyesal sekali saya.
Budaya yang tidak pernah dipisahkan selain tari-tarian dan didong (berbala pantun) adalah seni pacuan kuda. Masyarakat kota ini memperingati ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia dengan menyelenggarakan seni budaya pacuan kuda. Yang membuat unik dan beda adalah penunggang kudanya anak-anak berusia 9-11 tahun. Dan hebatnya lagi anak-anak ini tidak menggunakan pelindung seperti helm untuk kepala dan pengaman badan. Hanya tali yang diikat ke kepala kuda. Anak-anak kecil menggunakan baju berwarna warni khas kota ini, tidak terbayangkan pasti sangat semarak dan ramai. Seperti inilah Takengon dan Danau Laut Tawar terus-terusan mempertahankan tradisi budaya untuk menarik wisatawan datang ke kota ini.
Kembali ke pusat kota, kembali duduk terpekur di pinggiran danau. Kembali menikmati indahnya danau. Serasa saya sedang berada di pedalaman Eropa. Membaca novel dengan latar belakang desa di negara Eropa menyebutkan pedalaman hutan di kaki gunung dengan danau dan pepohonan cemara. Dan seperti inilah bayangan saya terhadap desa itu. Disinilah di pinggiran danau dengan latar belakang pepohonan cemara yang terlihat dari jauh. Surga kecil Aceh, disebuah kota yang menyelempit diantara barisan pegunungan. Penghasil kopi Gayo yang dinikmati masyarakat seluruh dunia, ditanah ini lah mereka berasal. Ahh… esok saatnya saya mengunjungi perkebunan kopi, ingin mencium aroma kopi Gayo yang sangat enak itu dan membelinya untuk buah tangan bagi keluarga dan teman saya.
(Sumber: https://ekkairianto.wordpress.com)
(Sumber: https://ekkairianto.wordpress.com)